Hanung Terpilih Sutradara Terbaik Versi Tempo  

Written By Unknown on Jumat, 03 Januari 2014 | 10.20

TEMPO.CO, Jakarta - Orang-orang tua itu sangat kurus. Demikian kurus tubuh mereka, hingga seolah-olah tinggal tulang-belulang. Tak ada daging yang menempel. Mereka bekerja mengangkut dan memecah batu-batu. Semuanya sangat sengsara. Siang itu, mereka tampak dipaksa bekerja di suatu daerah yang terkesan sebagai perbukitan kapur yang gersang.

Hanung Bramantyo--sang sutradara--tampak punya perhatian terhadap detail lokasi. Adegan romusha itu hanya sekilas, tapi cukup dramatis. Pemilihan para orang tua untuk memerankan figuran pekerja itu juga diperhitungkan sekali. Bila diperhatikan, Hanung banyak menggunakan orang tua uzur di sana-sini untuk menjadi figuran, dari warga desa biasa sampai pengikut pesantren. Mungkin untuk keperluan ini ia meminta agensi di Yogya mencari petani-petani tua ke sudut-sudut Yogya. Hal-hal kecil ini perlu untuk menghidupkan film.

Soekarno adalah film kolosal. Banyak tantangan yang harus dihadapi Hanung. Syutingnya selama 70 hari, termasuk lama. Mula-mula Hanung harus mampu mengembalikan suasana zaman. Sekali set kelihatan tidak masuk akal, film akan jatuh. Sekali aktor-aktor utama terlihat melenceng aktingnya, film akan jeblok.

Untuk set cukup berhasil. Lorong-lorong, jembatan, dinding-dinding, dan kendaraan-kendaraan dalam adegan yang berlokasi di Surabaya, Bengkulu, sampai Jakarta--secara umum--terasa tidak janggal. Kita bahkan bisa menilai tingkat realisme set jauh lebih maju dibanding film-film Hanung sebelumnya, seperti Sang Pencerah, apalagi Ayat-ayat Cinta.

Menurut Hanung, sebelum syuting, ia melakukan napak tilas dari Blitar, Bengkulu, sampai bekas rumah H.O.S. Cokroaminoto di Surabaya. Saat ia datang ke penjara Banceuy, Bandung, penjara itu sebagian besar sudah berubah menjadi mal. Hanung memutuskan 90 persen syuting dilakukan di Jawa Tengah (Yogya, Semarang, Klaten, dan Ambarawa) dan 10 persen di Bogor. Hanung mengatakan banyak kesulitan untuk menyewa tempat syuting. Mau tak mau ia harus menyiasati bujet. "Seperti rumah Bengkulu. Untuk apa syuting di sana, sementara saya hanya membutuhkan lima scene?" katanya.

Akan halnya untuk urusan aktor, Hanung lumayan dalam casting pemain. Pemeran Sukarno, Hatta, Inggit, dan Fatmawati bermain cukup baik. Dan mereka setara. Aktor yang biasanya tampil di sinetron bisa bermain mengimbangi mereka yang banyak asam garam di dunia film. Akting pemeran Fatmawati, Tika Bravani, yang sebelumnya dikenal sebagai pemain sinetron Bidadari-bidadari Surga, misalnya, ternyata cukup mencuri perhatian. Itu tentu akibat kemampuan Hanung mengarahkan.

Yang paling penting, Hanung tahu ke mana ia mengarah. Ujung film ini akhirnya adalah proklamasi. Seluruh drama percintaan Sukarno dengan Inggit dan Fatmawati serta semua konflik Sukarno dengan pemuda digeret klimaksnya ke arah sana. Film ini cukup berfokus.
 
Dramaturgi Hanung sesungguhnya konvensional. Film ini adalah biopik--film biografi yang linier. Ia merangkak dari masa kecil Sukarno ke periode magang di Cokroaminoto, kemudian masa-masa Sukarno menjadi tokoh PNI, saat ia mulai mempengaruhi massa dengan pidato-pidatonya, diasingkan ke Bengkulu, lalu mulai berhubungan dengan Jepang. Struktur film Hanung biasa. Ada awal, konflik, lalu resolusi. Namun, Hanung cukup menjaga ritme dramaturgi. Adegan demi adegan mengalir tak tersendat-sendat. Dari masa kecilnya meloncat ke Sukarno sang aktivis, kita tak terganggu. Kepekaan ini membuat Soekarno secara keseluruhan adalah film kolosal yang cukup enak ditonton.

ALIA | MAJALAH TEMPO


Anda sedang membaca artikel tentang

Hanung Terpilih Sutradara Terbaik Versi Tempo  

Dengan url

http://pensiaktraksi.blogspot.com/2014/01/hanung-terpilih-sutradara-terbaik-versi.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Hanung Terpilih Sutradara Terbaik Versi Tempo  

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Hanung Terpilih Sutradara Terbaik Versi Tempo  

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger